Pernyataan:
Sehat Indonesia berusaha menyaring dan hanya menyajikan informasi yang bermutu, namun setiap pandangan atau pendapat yang disajikan dalam portal ini adalah tanggung jawab masing-masing penulis.

Informasi di portal ini tidak bertujuan untuk menjadi pengganti diagnosis medis komprehensif. Semua konten, termasuk teks, grafik, gambar dan informasi, yang terdapat pada atau tersedia melalui portal sehat indonesia adalah sebagai informasi umum dan analisa pembanding. Semua informasi dapat berubah tanpa pemberitahuan.

Sehat indonesia tidak bertanggung jawab atas isi saran/diagnosa/terapi/kursus/jasa maupun informasi lainnya yang diperoleh dari praktisi kesehatan, produk maupun situs afiliasi (link) melalui portal ini.

Iingin Dekat dengan Mama, Kenapa Tidak Bisa?


Gadis cantik ini mirip seorang model. Sebutlah namanya Nina. Ia lulus cum laude dari sebuah perguruan tinggi ternama. Kedatangannya ke klinik adalah untuk mendapatkan solusi atas persoalan yang bertahun-tahun menggelayutinya. “Saya ingin sekali bisa dekat dengan Mama, tapi kenapa tidak bisa?”

 

Nina sudah berusaha keras. Apalagi dia juga tahu  mamanya pun berusaha dekat dengannya. Ada perasaan bersalah pada diri Nina atas situasi tersebut, lebih-lebih jika mengingat sang mama telah membesarkan dia dan adik-adiknya sendirian tanpa suami sejak mereka masih kanak-kanak.

 

Di kursi terapi Nina menemukan akar masalahnya. Ternyata hatinya terluka karena semasa kecil  mama kerap memukulinya dengan rotan. Hanya gara-gara tidak tidur siang atau ingin lebih lama bermain ia bisa mendapat sabetan gagang kemoceng/sulak. 

 

Ada perasaan marah, kecewa, sakit hati, tidak adil, bahkan benci terhadap mamanya. Nina merasa kewajiban dan tugasnya sebagai anak selalu dilakukan dengan baik, tapi sepertinya tidak cukup bagi mamanya. Ia juga merasa diperlakukan berbeda dengan adiknya yang tidak pernah disiksa.  

 

Anda makin mengerti sekarang, bahwa meskipun pikiran sadar Nina menginginkan dekat dengan mamanya, namun karena di pikiran bawah sadar tersimpan perasaan negatif terhadap wanita yang melahirkannya itu, maka yang menjadi “pemenang” adalah pikiran bawah sadar.

 

Beberapa waktu kemudian mama Nina datang terapi dengan tujuan sama: ingin bisa dekat dengan putrinya. Seperti Nina, ibunya juga merasa sudah berusaha keras untuk dekat, tapi gagal. Dalam qualifying atau interviu awal ia tidak mengaku memukuli putrinya. “Nggak pernah!” ucapnya mantap. Namun ceritanya lain ketika sudah duduk di kursi terapi dan bawah sadarnya berbicara.

 

“Saya hampir tiap hari memukuli. Habisnya dia bandel, nggak nurut kayak adiknya,” ujarnya.

“Pakai apa?”

“Pakai rotan. Gagang kemoceng itu lho”

“Di pantat?”

“Bukan! Kalau di pantat itu ndak sakit”

“Jadi  mukulinya di mana?”

“Semuanya, pokoknya bukan pantat, biar sakit.”

 

Dalam kondisi hipnosis pula wanita ini mengaku tidak bisa menahan diri karena stres. Ia harus hidup sendiri, membesarkan tiga anak tanpa suami, ketika ia sendiri masih berusia muda. Ia marah terhadap suaminya. Nina si anak sulung yang mengingatkan pada wajah suaminya, dijadikan sasaran emosi.

 

Sama dengan Nina, walaupun secara pikiran sadar ibu ini ingin dekat dengan putrinya, ternyata di bawah sadar ia justru membencinya. Di bawah sadar ibu dan anak sama-sama menyimpan emosi negatif. Hasilnya? Pasti tidak bisa dekat. Hipnoterapi membantu mereka menyelesaikan program negatif di bawah sadar itu, sehingga keinginan mereka berdua untuk dekat bisa tercapai.

 

Dari pengalaman ibu dan anak ini, kita belajar untuk lebih berhati-hati dalam mengendalikan diri di hadapan anak. Persoalan hari ini seringkali berakar pada apa yang dilakukan orangtua di masa lalu ketika anak-anak masih kecil, yang sudah dilupakan. @