TAK BISA KERJA INGAT ISTERI TIDAK PERAWAN
Pria ini bisa dibilang memiliki ciri-ciri kehidupan ideal: ganteng, bisnis sukses, isteri cantik dan pintar, anak-anak sehat dan cerdas, religius pula. Usianya 40-an tahun, lulusan perguruan tinggi yang baik di Amerika. Sebutlah namanya Ferry.
Beberapa bulan belakangan Ferry tidak bisa bekerja. Ia sudah mencoba mengatasi dengan beberapa cara, tapi pikirannya benar-benar tidak bisa diajak mikir. “Saya terganggu oleh ingatan bahwa isteri saya tidak perawan lagi ketika saya nikahi,” ungkapnya.
Ferry merasa hubungannya dengan isteri baik-baik saja. Ia sangat mencintai ibu anak-anaknya. Saat hendak menikah pun dia sudah tahu kalau tidak perawan lagi, karena memiliki value berbeda soal seks pranikah. “Dan saya bisa menerima keadaan itu, maka saya menikahinya,” ujar Ferry.
Di kursi terapi akhirnya diketahui, ada bagian diri (ego personality) Ferry yang tidak ikhlas menerima kondisi tidak perawan itu. Ferry sendiri sebelum menikah sudah berpacaran hampir 10 tahun dengan seorang wanita, dan ia tetap menjaga keperawanannya. Hubungan mereka berakhir karena perbedaan agama.
Intinya ada konflik di dalam diri Ferry. Ia diajarkan oleh keluarganya untuk menghargai wanita dan keperawanannya, dan ia menaati ajaran itu. Tapi di sisi lain, “Kenapa saya justru mendapatkan wanita yang tidak perawan?”
Ada perasaan tidak fair yang tersimpan di bawah sadarnya. Hingga usia perkawinan 12 tahun perasaan itu tak terganggungkan lagi, lalu muncul sebagai gangguan. Dengan re-edukasi di pikiran bawah sadar Ferry pulang dengan hati damai. Dia benar-benar tidak ingin kehilangan isterinya.
Apa yang bisa kita ambil sebagai catatan dari peristiwa ini? Bila ada bagian diri di bawah sadar yang berbeda pendapat dengan pikiran sadar, maka program di bawah sadar itu yang menuntun langkah kita. Pikiran bawah sadar menuntun kita secara sukses: menuju kegagalan maupun keberhasilan.