Pernyataan:
Sehat Indonesia berusaha menyaring dan hanya menyajikan informasi yang bermutu, namun setiap pandangan atau pendapat yang disajikan dalam portal ini adalah tanggung jawab masing-masing penulis.

Informasi di portal ini tidak bertujuan untuk menjadi pengganti diagnosis medis komprehensif. Semua konten, termasuk teks, grafik, gambar dan informasi, yang terdapat pada atau tersedia melalui portal sehat indonesia adalah sebagai informasi umum dan analisa pembanding. Semua informasi dapat berubah tanpa pemberitahuan.

Sehat indonesia tidak bertanggung jawab atas isi saran/diagnosa/terapi/kursus/jasa maupun informasi lainnya yang diperoleh dari praktisi kesehatan, produk maupun situs afiliasi (link) melalui portal ini.

Belajar Yoga dari Anak Bayi


Anakmu bukan milikmu
Mereka putra-putri Sang Hidup
Yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir,
tapi bukan dari engkau

Patut kau beri rumah untuk raganya,
Tapi bukan jiwanya, karena
Anakmu adalah penghuni masa depan

(The Prophet – Kahlil Gibran)

Malam-malam pertama memiliki anak yang baru lahir, seperti naik kereta kelas ekonomi. Kereta api kelas ekonomi Jakarta – Surabaya sama saja dengan kereta Manggarai – Depok atau Pune – New Delhi, India. Selain sesak oleh penumpang, setiap dua menit, tidur kita terbangun oleh suara pengasong yang bergantian dengan musik berisik para pengamen.Tidur malam orang tua pemula akan terusik oleh tangisan penduduk baru dunia ini. Tapi jika suara sumbang tengah malam pengamen di kereta adalah suara masa lalu, maka, meminjam istilah Profesor Asrul Ramdhani, filsuf dari Cirendue bahwa suara tangis bayi adalah suara masa depan. Suara harapan!

Di hari-hari awal anak kita lahir, dia nampak seperti mahluk lemah sekali. Tapi dari kelemahannya banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil. Tentu saja kita ingat bahwa dari rahim ibu anak itu lahir. Rahim adalah tempat persemaian benih atau zigot, hasil pembuahan sperma laki-laki dan indung telur perempuan – yang kelak akan menjadi janin, bayi, dan akhirnya menjadi munusia yang utuh, seperti kita yang dewasa ini. Tentunya kita yang telah dewasa dan ‘merasa’ kuat ini, dulunya mahluk yang lemah dan telah melewati periode hibernasi seperti bayi yang baru lahir itu. Kehidupan si kecil yang lemah itu akan menyedot hampir 100 % perhatian para orang tua untuk bertanggung jawab merawat buah karya ‘energi penyatuan’ ayah-ibu itu: mengganti popok yang kena kencing atau BAB, memberi ASI, selalu memutar otak untuk agar tangis bayi tidak berkepanjangan, selain menjaga kesehatan si orang tua, kita sendiri.

Setiap orang tua yang sedang mengandung tentu saja menginginkan anaknya yang akan lahir sehat, lengkap, serta tidak cacat, hingga upaya tidak menambah statistik kematian anak ketika melahirkan.  Di sini diperlukan sekali perhatian pada pemenuhan gizi untuk ibu selama masa kehamilan. Seperti dikatakan oleh Prof Dr Nila Moeloek, Utusan Khusus Presiden RI untuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) :”Ibu hamil yang kekurangan gizi mudah terserang infeksi yang mengganggu kehamilan dan persalinan. Pemenuhan gizi perempuan akan mnekan risiko kematian serta menyelamatkan ibu dan anak.” (Kompas, 5 Juni 2012 hal.14)

Tidak salah jika perhatian pada kesehatan reproduksi perlu mendapat perhatian. Bukan hanya kesehatan dari kajian teknis dunia medis kedokteran, tapi dalam pengertian yang kebih luas, adalah juga pemahaman akan hidup dan kehidupan itu sendiri. Hidup beserta konteksnya dengan dunia dimana kita berada.

Perhatian pada si anak kecil yang lemah dengan segala ke-ribet-annya, di dalam yoga seperti perlunya juga memperhatikan hal-hal yang mungkin selama ini, di dalam praktek keseharian kita berlatih asana, postur, absen memperhatikannya karena sibuk menampilkan bentuk akhir suatu pose agar terlihat “sempurna” dan dikagumi orang jika diupload di facebook. Perhatian pada hal-hal yang sering kita abaikan seperti perlunya memperhatikan alignment, arah pergerakan otot dan syaraf ketika kita berasana, memperhatikan kapan kita tarik dan buang nafas, selain perlunya juga “melihat ke dalam”, yaitu bagaimana kita mentreatment ulang, ligamen, tendon, atau fascia body dan bagaimana energi itu terdistribusi di dalam badan kita, selain memperhatikan rasa atau sensasi ketika kita sedang dalam asana. Dengan mengingat keterbatasan yang dimiliki di tubuh kita masing-masing karena bentuk tulang yang berbeda-beda. Inilah makna memperhatikan si anak kecil yang lemah dengan segala tetek-bengek-nya di dalam konteks beryoga.

Yoga adalah ibarat benih suatu pohon yang ditanam - yang kelak akan menghasilkan buah yang bermanfaat, bukan hanya pada pohon itu sendiri, tapi manfaatnya bisa juga dirasakan bahkan oleh binatang sekalipun, selain tentunya untuk manusia. Sama dengan sperma dari laki-laki adalah benih yang ditanam ke rahim perempuan, seorang calon ibu. Zigot, benih dan janin akan berkembang menjadi bayi yang sehat jika mendapat perhatian dan perawatan dari ibu yang mengandungnya, dan tentunya keluarga dan lingkungan ibu tinggal. Demikian juga yoga. Yoga bermula dari akar yang sama dengan filosofi yama. Batang adalah
niyama. Sedangkan asana dapat dipadankan dengan cabang dari suatu pohon. Sampai kemudian menghasilkan bunga (dhyana = meditasi), dan  akhirnya, pencapain tertingga dari praktek yoga akan termanifestasikan di dalam buah, samadhi, pandangan terang, pencerahan, liberation, bliss, kebahagaian utuh dan penuh. Harum bunga dari suatu pohon akan meberi tanpa syarat pada siapa saja orang yang lewat, demikian juga buah dari pohon. Manfaat yoga, selain untuk diri sendiri, akan dirasakan juga orang-orang di sekeliling para praktisi yoga, tanpa kecuali!

Kalau yoga diibaratkan dengan benih dan berkembang menjadi akar. Rahim ibu adalah adalah seperti tanah tempat disemaikannya latihan yoga itu. Agar rahim itu sehat selama masa kehamilan, seperti kita merawat tanaman, ilmu yoga yang telah kita dapatkan perlu dirawat terus, dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dengan perhatian penuh secara berkesinambungan.

Sekarang kita kembali ke bayi yang baru lahir ini. Kalau dibuat analogi, bayi itu seperti pohon yang baru saja tumbuh. Agar pohon itu tumbuh berkembang, tanah perlu dibuat gembur agar akar dapat menacari makan dengan leluasa. Artinya, suasana di rumah tangga perlu dibuat kondusif. Dalam konteks yoga, para praktisi perlu terus berlatih yoga di tempat yang peserta lainnya dapat saling mendukung, bukan yang malah akan menghambat dan mengerdilkan perkembangan kejiwaan para praktisi.

Para orang tua, seumpama penanam pohon, tentunya tidak akan memaksakan bentuk pohon yang kelak akan menjadi besar. Dan kita pun tidak pernah tahu arah dan bentuk-bentuk cabang. Kita, orang tua, tentunya mempunyai harapan pada anak yang kita lahirkan agar kelak menjadi apa, tapi, seperti anjuran Dr Puguh Imanto, insinyur dari Bank Dunia, tentunya kita tidak dalam disiplin “harustis" dan "Militeristik” , harus seperti yang kita pikirkan, harus sesuai dengan gambaran di otak kita, membuat suasana kelas yoga seperti dalam camp militer, karena yoga bukanlah Nazi - Hitler. Seperti pohon yang kita tanam, mungkin kita  mengingini bentuk pohon lurus tegak dan arah cabang yang pasti, tapi kita tahu bahwa cabang dan ranting pohon bergerak tanpa bisa kita prediksi. Sama dengan pohon, setiap anak, setiap manusia unik dengan kekhasannya sendiri-sendiri. Kita perlu menghormati keragaman itu. Pelatihan yoga bukanlah human factory, pabrik manusia sehingga bisa dibentuk sesuai keinginan Sang Guru.

Yang bisa kita lakukan hanyalah berlatih dan berlatih. Jika kita sedang mengikuti kelas bersama, mengerjakan apa yang diisntruksikan oleh instruktur tanpa membenturkan dengan memory pengetahuan yang telah lebih dulu kita miliki. Seperti juga yang tertulis dalam Yoga Sutra Patanjali II.47: "prayatna saithilya ananta samapattibhyam" - "Perfection in an asana is achieved when the effort to perform it becomes effortless.".  Jika sedang mengurus anak yang baru lahir itu, kerjakan dan lakukanlah hal-hal yang berhubungan dengan anak yang ada di hadapan kita itu: bangun tengah malam memberi ASI, mengganti popok yang kena kencing atau BAB, kemudian memcucinya tanpa perlu mengeluh. Biarlah pedagang asongan lewat, biarlah nyanyian sumbang pengamen di kereta. Seperti lanjutan dalam puisi Kahlil Gibran itu, kita, para orang tua adalah seperti busur, dan anak kita adalah anak panah yang kelak melesat. Seperti dalam film Hero-nya Zhang Yimou, tidak semua anak panah mengenai sasaran yang diinginkan. Yang Empunyai Hidup, Yang Maha Kuasa, Sang Pemanah itu, maha tahu arah bidikkannya. Biarkan anak kelak menjadi dirinya sendiri. ( Yudhi Widdyantoro )